ENAM PR PENTING TANAH PAPUA YANG BELUM TUNTAS
ENAM PR PENTING TANAH PAPUA YANG BELUM TUNTAS
Catatan untuk MRP di Hari Masyarakat Adat Internasional – 9 Agustus
Ir. Yan Ukago, MT
Gunung Sahayu, Negeri Yali
Tanggal 9 Agustus adalah Hari Masyarakat Adat Internasional. Dari Eropa, Australia, Afrika, Asia, hingga Papua, momen ini menjadi ajang untuk mengenang, merayakan, sekaligus memperjuangkan hak-hak masyarakat adat.
Namun di Tanah Papua, di balik kekayaan budaya dan alam yang tak ternilai, ada enam pekerjaan rumah besar yang masih belum tuntas. Catatan ini saya tujukan kepada Majelis Rakyat Papua (MRP) dan seluruh pemangku kepentingan.
1. Hutan Adat yang Terancam Punah
Hutan Papua adalah salah satu paru-paru dunia, sejajar dengan Kongo dan Amazon. Satu pohon besar menghasilkan rata-rata 20 kg oksigen per tahun, sementara satu manusia membutuhkan 188 kg oksigen per tahun. Setiap pohon adalah kehidupan. Pohon perlu dijaga.
Dunia perlu memberi dukungan nyata yaitu dana, penghargaan, dan insentif , bagi ondoafi, kepala suku, dan masyarakat adat yang menjaga hutan. Tanpa dukungan, himpitan ekonomi akan memaksa masyarakat menerima uang dari perusahaan penebang. Hutan habis, suhu global naik, es kutub mencair, pulau tenggelam, dan kehidupan di bumi terancam. Hutan ini milik dunia, tetapi kuncinya ada di tangan adat.
2. Penguasaan Lahan Adat Tanpa Izin
Di Papua, tidak ada tanah kosong. Jika tidak dihuni manusia, ia adalah rumah bagi cenderawasih dan satwa liar lainnya.
Belum ada pemetaan resmi kepemilikan tanah adat di tujuh wilayah budaya. Banyak tanah ulayat diambil tanpa izin oleh para saudagar, bahkan oleh sesama orang Papua dari kelompok mayoritas. Sekecil apa pun jumlah suatu suku, mereka tetap pemilik sah tanah yang Tuhan berikan. Ini harus dihormati.
3. Rusaknya Tatanan Sosial Adat
Pemekaran wilayah, Dana Desa, Raskin, dan pembangunan jalan Trans Papua telah mengubah wajah kampung. Gotong royong memudar, kemandirian melemah, kebun-kebun hilang karena ketergantungan pada bantuan. Ubi dan sagu tergeser oleh nasi dan makanan instan. Duluh orang makan makanan lokal, maka banyak yang sehat hingga usia senja, kini usia muda pun banyak yang meninggal. Kampung-kampung adat yang dulu ramai kini sepi, ditinggalkan warganya demi kehidupan di kota.
4. Eksploitasi SDA Tanpa Manfaat bagi Pemilik Ulayat
Dari tambang raksasa di Tembagapura hingga tambang ilegal di Nabire, Degeuwo, Manokwari, dan Korowai, kekayaan alam diambil, tetapi pemilik ulayat jarang menikmati hasilnya.
Orang Papua, walau berpendidikan tinggi, sering kali polos secara moral dan materiil. Kepolosan ini dimanfaatkan oleh pendatang dan pemodal rakus. Yang lemah menjadi santapan empuk bagi yang licik.
5. Pemiskinan Ekonomi yang Sistematis
Di Indonesia, 80% kekayaan dikuasai hanya oleh 4% penduduk. Di Papua, hanya 1% uang beredar di tangan Orang Asli Papua (OAP). Situasi ini mengarah pada pemiskinan sistematis.
Banyak pemilik tanah adat terpaksa menjual lahannya demi bertahan hidup — kadang hanya ditukar dengan dua karung beras. Larangan menjual tanah tanpa solusi hanyalah slogan kosong. Pemerintah daerah dan gereja harus mencari akar masalahnya, bukan sekadar melarang.
6. Imigrasi Tak Terkendali
Sejak 2003, arus pendatang di beberapa wilayah Papua telah melampaui jumlah OAP. MRP perlu mendorong kebijakan pembatasan imigrasi dan memastikan yang datang adalah tenaga kerja berkualitas. Papua bukan tempat pembuangan buruh yang berpotensi memicu konflik horizontal.
Pendataan OAP di kampung hingga kota besar sangat penting agar dana Otsus tepat sasaran. Tingkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) OAP di Jayapura, Timika, Nabire, Merauke, Manokwari, dan Sorong. Tingginya IPM di kota-kota ini (di atas skor 80) justru disumbangkan oleh kaum pendatang, bukan OAP.
Demikian enam PR. Mungkin masih ada lagi, maka MRP perlu mengumpulkan hal-hal fundamental seperti ini dan memperjuangkannya. Pengelolaan dan perencanaan anggaran Otsus diperjuangkan agar menjadi kewenangan MRP, bukan hanya pemerintahan saja (Gubernur atau bupati).
MRP bukan lembaga teknis untuk membangun rumah tingga bagi tokoh adat atau mengurus jatah pendidikan dan kepolisian generasi muda bagi OAP, itu tugas eksekutif. Fokus MRP adalah memperjuangkan hak-hak dasar masyarakat adat Papua di pangkuan Ibu Pertiwi.
Kalau tidak, nasib OAP akan tenggelam di pangkuan Ibu Pertiwi. Kata Sendius Wonda. Kalau perlu, MRP dan steke holder lainnya perjuangkan hingga berdarah-darah.
Enam poin ini adalah pekerjaan besar yang memerlukan keberanian, keteguhan, dan komitmen bersama. Demi masyarakat adat Papua dan kerukunan dengan masyarakat amber — mari bergerak!
Awi Jr, Negeri Yali – 2018
Iklan ada di sini
Komentar