Jayapura: Kota Pertarungan Politik!
Jayapura itu bukan sekedar kota metropolitan. Lebih daripada itu merupakan kota pertarungan politik, ekonomi, budaya dan lainnya pada pos modern ini.
Pertarungan ini membuat nasib penduduk asli kota ini sama dengan suku Galia dan Celtic–kaum Parisian di Paris, Prancis.
Entitas kota semakin hilang karena bahasa, budaya, nilai-nilai kearifan lokal, hak-hak dasar, tanah dan hutan adat, rumah tradsional serta hewan dan binatang asli yang dulu ada pun semakin hilang akibat sistem perbudakan yang mematikan segala aspek didup orang-orang lokal.
Juga bukan sekedar kehilangan roh dan jiwa dari kota ini. Lebih dari pada itu, sekali lagi menghantarkan masyarakat adat tradisional menuju masyarakat kota modern. Salah satu indikatornya adalah menghilangkan sumber mata pencahatian hidup masyakat lokal, kemudian membuat masyarakat lokal bergantung pada sistem yang menjijikan.
Sistem itu bukan sekedar pada sistem birokrasi politik. Tapi juga pada tingkatan penghilangan paksa terhadap bahasa, budaya, nilai-nilai kearifan lokal. Bahkan membentuk watak hidup masyarakat lokal yang konsumtif terhadap minuman keras, seks bebas, obat-obatan teralarang dan lainnya secara sistematis pula.
Penguasaan tanah yang melibatkan konglomerat dan kapitalis kota ini menjadi "wajah tersembunyi" yang sesungguhnya mematikan. Mereka adalah penjahat tanah, penjahat terhadap hak-hak dasar hidup dan penjahat tehadap nasib dan masa depan penduduk lokal.
Dalam 100 tahun berhasil melumpuhkan, juga mematikan basis eksistensi orang asli Papua (Port Numbay], dari 5 suku yang ada di pusat kota ini, yakni; Tobati, Enggros, Kayu Pulo, Nafri dan Sentani.
Ruang gerak mereka dimatikan secara sistematis. Ruang hidup mereka diambil alih. Hak-hak dasar hidup pada tanah adat, hutan adat, kali, sungai, telaga, pulau dan laut diambil alih secara halus.
Kota yang beradat dan beradab dulu: dengan khas bahasa, rumah adat tradisional, perahut, noken asli dan lainnya semakin tersingkir. Semua digantikan dengan bahasa asing: Belanda dan Indonesia, tas, pakaian modern dll.
Orang dari 6 wilayah adat lain, seperti Biak, Serui, Manokwari, Raja Ampat, Kaimana, Fakfak, Bintuni, Sorong, Mimika dan Merauke mulai masuk oada 1910/20/30/40/50/60/70/80. Sednagkan dari wilayah pedalaman, Maybrat, Tambrauw, Wamena (Hugulama), Paniai dll mulai masuk 1950/60/70/80/90-an.
Sebelumnya, orang Buton, Bugis, Makassar, Jawa dan lainnya sudah masuk. Bahkan melalui jalur perdagangan rempat-rempat (laut) mulai sebarkan kebiasaan buruk, seperti minuman keras, kartu, seks bebas dan lainnya.
Jauh sebelumnya, orang Eropa dan Tionghoa mai memasuko wilayah ini. Tapi orang Eropa tidak merebut tanah. Namun, sebagian tanah strategis dibeli habis oleh orang China, Jawa, Batak, Todaj dan lainnya.
Orang Papua urban lain membeli tanah yang sama, tapi kebanyak untuk membuat rumah. Bukan untuk menjadi penjahat bagi saudara-saudaranya hingga membunuh ruang hidup mereka: basis mata pencaharuan hidup. Rata-rata hadir untuk mencari prndidikan yang layak dan harus bersaing dibawah ketiak otoritas yang bau dan sama.
Beda dengan orang Eropa, China, dan melayu. Mereka hadir untuk menguasai tanah dan mengeksploitasi sumber daya alam secara berlebihan. Bahkan ambil alih kendali ruang hidup, ruang birokrasi politik, kebudayaan dan lainnya.
Orang Papua pada umumnya, termasuk orang asli Port Numbay bersaing dengan orang luar dengan "rasa kasihan." Mereka menghadapi monster politik, ekonomi dan budaya dengan daya tahan hidup yang pas-pasan sambil diantara mereka saling serang sana sini.
Dalam kondisi dasar pertarungan politik ideologis dan politik praktis, ekonomi dan budaya yang didominasi oleh kaum mayoritas, kaum budak minoritas seperti orang Papua pada umumnya tidak bisa berkutik apa-apa. Dari waktu ke waktu, bila salah menggunakan metode perlawanan untuk bertahan hidup (survive), akan memperparah nasib dan masa depan generasi penerus.
Dalam 50 tahun terakhir telah membuktikan itu. Sekaligus berhasil menciptakan wajah kota Jayapura yang baru, yang sangat aneksasionis. Kota yang katanya kota beriman namun tidak bermoral. Kota yang katanya kota Injil, namun menuntut orang agar menjadi sangat biadab dengan perilaku hidup amoral: curamor, palang jalan dll.
Para penguasa melegalkan minuman keras dan seks bebas di kota metropolitan yang kian makin kehilangan harkat dan martabatnya. Pertumpahan darah ikut memberi kesan bahwa kota ini semakin angker dari kata kota Injil dan Tanah yang diberkati oleh Tuhan.
Aktivis nasionalis pro kemerdekaan ikut mewarnai kota ini. Sejak 1960-1970/80-an peran ganda politis dimainkan oleh orang-orang di wilayah utara dan selatan. Orang dari pedalaman mulai namoak sejak 1890-an dan 2000-an awal.
Kaum patriotis nasionalis yang progresif terus melancarkan serangan di balik-balik kota. Mulai dari hutan, jalan, kantor pemerintahan, caffe, kios dan lain sebagainnya. Pada saat yang sama, pertarungan politik praktis yang sehat hingga tidak sehat membunuh karakteristuk kota yang baik.
Ekspresi politik praktis dari elit politik lokal Tabi pada belakangan ini yang semakin membabi buta ini bisa dilubat dalam berbagai aspek. Yang paling nampak adalah, terkesan didorong oleh kesesatan egosentrisme, individyalisme dan anti semitisme yang cukup kerdil.
Dalam hal ini tdak perlu dipersoalkan, dipermasalahkan apalagi disalahkan. Karena, hal itu merupakan akumulasi dari "marginalisme politik, ekonomi dan budaya" terhadap orang lokal yang berhasil diperbudak selama bertahun-tahun lamanya.
Mentalitas, moralitas dan spritualitas hidup mereka berhasil diperbudak oleh sistem perbudakan politik, ekonomi dan budaya modern. Hati, roh dan jiwa yang telah berhasil diperbudak ini bisa beljar juga dari orang asli Paris yang disebut Parisian, dari suku Celtic dan Galia yang berbasis di sungai Seine.
Silahkan baca bukunya Andrew Hussey yang berjudul: "Paris Sejarah yang Tersembunyi." Dalam buku ini ia menggambarkan opium kota juga detail kota metropilitan, yang sarat dengan minuman keras, seksualitas, posisi orang asli Parisian yang mengalami marginalisasi hingga menunjukkan ekspresi politik, ekonomi dan budaya di tengah pertumbuhan migrasi dan urbanisasi yang besar-besaran.
Revolusi Prancis pada 1889 hingga 1799 merupakan akumulasi dari pertarungan politik, ekonomi dan budaya yang sangat panjang. Peristiwa ini berhasil meruntuhkan monarki absolut, kemudian melahirkan republikanisme, demokrasi dan nasionalisme baru di Prancis.
Singkat kata, elit politik di kota ini harus sadar diri. Bahwa demonstran bukan penjahat demokrasi kota metropolitan sekaliber Jayapura, melainkan sahabat demokrasi, ideologi, dan nasiobalisme. Sebuah revolusi yang meruntukan sistem oligarki politik aneksasionis kelak akan lahir dari kota ini.
Marilahlah saling menguatkan satu sama lain. Membunuh stigma sosial. Menghapus diskriminasi rasial. Musnakan primordialisme. Lenyapkan penyakit pos modern: egosentrisme dan individuisme. Satu hati membangun kota demi nasib dan masa depan generasi penerus–bujan hanya kemuliaan nama Tuhan secara absurd.
Noth!
PN|Kamis, 3 Juli 2025
#JangkauanLuas
#Jayapura
#PortNumbay
#KotaPertarunganPolitikEkonomiBudaya
#DiskriminasiRasial
#FBPro
Iklan ada di sini
Komentar